Sabtu, 18 Oktober 2014

Saya Bangga dipanggil Abi

Abii......, Suara patah-patah itu terdengar lagi. Sudah beberapaa minggu ini , putri saya belajar mengeja kata-kata. Selain kata Umi, kata inilah yang paling lancar ia ucapkan. Saya menyukai vokal dan intonasinya yang khas. Bening dan sangat merdu. Selalu terasa baru setiap keluar dari mulut kecil itu. Dan tiba-tiba saya menjadi ingin mendengar suaranya berulang-ulang sepanjang hari. Setiap hari !

Abii......, Dada saya bergetar. Untaian nada itu memberi saya perasaan ‘lain’. Perasaan bahwa saya telah menjadi ayah. Satu jabatan yang bukan saja memberi ruang untuk merasa ‘berkuasa’, tapi juga kesadaran akan sebuah ‘mas’uliyah’, sebuah tanggung jawab. Perasaan yang menjelmakan saya sebagai manusia baru, memaknai ke-qawwam-an saya. Karena saya laki-laki. Ayah dan suami.
Setiap kali melihat mata bening itu memandangi kepergian saya berangkat bekerja, setelah mencium tangan dan mengucap salam, beribu perasaan berkecamuk di dalam dada. Bangga, suka cita, haru, damai, atau perasaan lain yang bahkan saya sendiri tidak bisa memberikan nama. Saya merasa ‘ditunggu’, karena mata bundar itu berpendar mengisyaratkan penantian. Meringankan langkah-langkah kaki, karena gairah kehidupan menjalari seluruh organ tubuh. Memberi kekuatan dahsyat untuk ‘bertarung’ dalam belantara dunia yang tak ramah, bahkan acapkali buas dan ganas. Kini, saya mengerti kenapa saya harus pergi, dan kenapa pula harus kembali.
Ketika pulang ke rumah, bola matanya yang berbinar-binar menyambut kedatangan saya seraya meneriakkan kata ‘Abii...’, sungguh membuat saya merasa dibutuhkan, merasa berarti. Keceriaan mereka menerima buah tangan kalau kebetulan ada rezeki, Alhamdulillah, atau sekedar tatapan lega karena saya kembali dengan ‘utuh’,  sungguh membuat saya merasa diharapkan.
            Menjadi seorang ayah adalah obsesi saya tentang raja kecil. Istana serasa surga yang memberikan pelayan-pelayan dengan kesetiaan suci murni, dalam teritorial paling sempit sekalipun. Dan mimpi itu menemukan bentuknya, ketika kata-kata yang saya ucapkan adalah keputusan. Bahkan, kemarahan saya pun tidak harus memiliki alasan. Sebab saya adalah ayah, sebab saya adalah kepala rumah tangga dan saya adalah si penguasa. Alangkah saktinya.
            Namun, kata iman yang saya pahami, memberikan beban yang sungguh tidak ringan. Apa dan bagaimana kerajaan kecil saya itu terbentuk, di sanalah tanggung jawab dipertaruhkan, baik dan buruknya. Bukankah setiap kita adalah seorang pemimpin ? dan setiap pepimpin harus bertanggung jawab. Dia akan memanen sebatas apa yang ia tanam. Memuaskan diri menjadi ‘raja’, bisa jadi akan menjadi malapetaka  yang akan saya sesali di kemudian hari. Dan ketika kesadaran seperti ini muncul, tak jarang saya menjadi takut atau bahkan menangis. Saya takut gagal.
            Abi.... sebuah taman bungga mengharum di dada. Ada perasaan bangga menyelinap saat mendengarnya. Betapa tulus kata itu terucap. Saya menemukannya sebagai mata air pembasuh kegersangan jiwa, oase sejuk pada keangkuhan saya yang telah menjadi gurun. Saya menemukannya sebagai spirit yang membekalkan semangat baja., dan membuat hari-hari selalu baru. Saya menemukannya sebagai wilayah untuk berbagi serta membuat saya rela mengalah. Itu memunculkan rasa nikmat mengagumkan yang saya sendiri menyukainya.
            Abi.... itulah kata yang membuat saya menoleh atas panggilan seseorang yang bukan nama saya. Memberi saya kesadaran bahwa saya ‘dimiliki’, bahwa saya bukan lagi menjadi diri sendiri dan saya harus mengerti. A juga kata yang membawa saya ke dalam babak baru metamorfosa saya sebagai manusia. Dunia orang tua. Ya, ternyata saya sudah tua.
            Waktu yang saya miliki mungkin tidak lama lagi. Saya harus mulai mencermati pilihan-pilihan aktivitas dan merenung lebih banyak. Agar andil saya dalam mencetak generasi rabbani menjadi kenyataan. Agar rumah tangga ini tidak menjadi neraka. Agar menjadi ayah adalah kesuksesan yang bisa dibanggakan. Dan anak-anak adalah simpanan yang menyelamatkan. Agar saya merasa telah berbuat sesuatu.
            Saya bangga dipanggil Abi. Saya bangga menjadi ayah, meski itu harus berkorban banyak. Saya bangga menjadi bagiannya, meski harus ‘kehilangan’ masa berhura-hura dan memanjakan diri sendiri secara berlebihan. Saya akan mencari kenikmatan lain yang memesonakan, menjelmakan keinginan untuk berperan dalam perubahan peradaban dalam arti yang sebenarnya. Dan saya sadar, bahwa ini semua baru dimulai.
            Saya bangga dipanggil abi. Saya bangga menjadi ayah, sebab Rasulullah SAW sang junjungan adalah seorang ayah juga. Yang memberikan kabar gembira akan berkesinambungannya pahala anak shalih bagi orang tua mereka di akherat. Dan bahkan di dunia pun mereka adalah ‘qurrata a’yun’, si penyejuk mata. Bukankah ini investasi yang menjajikan ?
            

0 komentar:

Posting Komentar