Menapaki jalan hidup kadang seperti menggoreskan koas pada sebuah bahan
lukisan. Mulus tidaknya goresan sangat bergantung pada jiwa sang pelukis.
Jangan biarkan jiwa kering dan gersang. Karena lukisan hanya akan berbentuk
benang kusut.
Bayangkan saat diri tertimpa musibah. Ada reaksi yang bergulir dalam tubuh.
Tiba-tiba, batin diselimuti khawatir akibat rasa takut, tidak aman, cemas dan
ledakan perasaan yang berlebihan. Tubuh menjadi tidak seimbang. Muncullah
berbagai reaksi biokimia tubuh: kadar adrenalin dalam darah meningkat,
penggunaan energi tubuh mencapai titik tertinggi; gula, kolesterol, dan
asam-asam lemak ikut tersalur dalam aliran darah. Tekanan darah pun meningkat.
Denyutnya mengalami percepatan. Saat glukosa tersalurkan ke otak, kadar
kolesterol naik. Setelah itu, otak pun meningkatkan produksi hormon kortisol
dalam tubuh. Dan, kekebalan tubuh pun melemah.
Peningkatan kadar kortisol dalam rentang waktu lama memunculkan
gangguan-gangguan tubuh. Ada diabetes, penyakit jantung, tekanan darah tinggi,
kanker, luka pada dinding saluran pencernaan, gangguan pernafasan, dan
terbunuhnya sel-sel otak.
Nalar pun menjadi tidak sehat. Tidak heran jika orang bisa melakukan
sesuatu yang tidak wajar. Di antaranya, bunuh diri, marah yang tak terkendali,
tertawa dan menangis yang berlebihan, serta berbagai pelarian lain: penggunaan
narkoba dan frustasi yang berlarut-larut.
Kenapa hal tak enak itu bisa mulus bergulir pada diri manusia. Mungkin itu
bisa dibilang normal, sebagai respon spontan dari kecenderungan kuat ingin
merasakan hidup tanpa gangguan. Tanpa halangan. Tak boleh ada angin yang
bertiup kencang. Tak boleh ada duri yang menusuk tubuh. Bahkan kalau bisa, tak
boleh ada sakit dan kematian buat selamanya.
Ada beberapa hal kenapa kecenderungan itu mengungkung manusia. Pertama,
salah paham soal makna hidup. Kalau hati tak lagi mampu melihat secara jernih
arti hidup, orang akan punya penafsiran sendiri. Misalnya, hidup adalah upaya
mencapai kepuasan. Lahir dan batin. Padahal kepuasan tidak akan cocok dengan
ketidaknyamanan, gangguan, dan kesulitan.
Hal itulah yang bisa menghalangi seorang mukmin untuk berjihad. Allah swt.
berfirman, “Hai orang-orang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada
kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,’ kamu merasa berat dan
ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai
ganti akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan
kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (At-Taubah: 38)
Kedua, kurang paham kalau keimanan selalu disegarkan dengan cobaan. Inilah
yang sulit terpahami. Secara teori mungkin orang akan tahu dan mungkin hafal.
Tapi ketika cobaan sebagai sebuah kenyataan, reaksi akan lain. Iman menjadi
cuma sekadar tempelan.
Firman Allah swt., “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah
mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)
Saad bin Abi Waqqash pernah bertanya pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah,
siapa yang paling berat ujian dan cobaannya?” Beliau saw. menjawab, “Para nabi
kemudian yang menyerupai mereka dan yang menyerupai mereka. Seseorang diuji
menurut kadar agamanya. Kalau agamanya lemah dia diuji sesuai dengan itu
(ringan) dan bila imannya kokoh dia diuji sesuai itu (keras). Seorang diuji
terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa.”
(Al-Bukhari)
Kalau ada anggapan, dengan keimanan hidup bisa mulus tanpa mengalami
kesusahan dan bencana. Itu salah besar. Justru, semakin tinggi nilai keimanan
seseorang, akan semakin berat cobaan yang Allah berikan. Persis seperti emas
yang diolah pengrajin hiasan. Kian tinggi nilai hiasan, kian keras emas
dibakar, ditempa, dan dibentuk.
Memang, hakikat hidup jauh dari yang diinginkan umumnya manusia. Hidup
adalah sisi lain dari sebuah pendakian gunung yang tinggi, terjal, dan
dikelilingi jurang. Selalu saja, hidup akan menawarkan pilihan-pilihan sulit.
Di depan mata ada hujan dan badai, sementara di belakang terhampar jurang yang
dalam.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya
dua jalan. Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?”
(Al-Balad: 10-11)
Kesiapan diri tentang jalan hidup yang tak mulus itu mesti ada. Harus terus
segar dalam jiwa seorang hamba Allah. Perhatikanlah senyum-senyum para generasi
terbaik yang pernah dilukis umat ini. Di antara mereka ada Bilal bin Rabah. Ada
Amar bin Yasir.
Masih banyak mereka yang terus tersenyum dalam menapaki pilihan hidup yang
teramat sulit. Tanpa sedikit pun ada cemas, gelisah, dan penyesalan. Mereka
telah melukis hiasan termahal dalam hidup dengan tinta darah dan air mata.
4 komentar:
yah...
benar juga....
semakin tinggi Iman seseorang berarti semakin keras cobaannya...
Astagfirullah... kenapa saya baru menyadarinya, sementara sudah lama mengetahuinya...
memang sungguh tak pantas manusia utk menyesali sulitnya beban hidup ini... ^_^
Subhanallah., manfaat banget khy artikelnya. Hidup memang tidak selalu mulus, apalagi sesuai dengan keinginan, hanya orang-orang yang berjiwa besarlah yang mampu merubah musibah, kesulitan & rintangan menjadi tantangan untuk menjalani hidup sesuai dengan kehendak yang menciptakan
artikelnya mantap om.... (y) untuk pencerahan
Posting Komentar