Selasa, 15 Mei 2012

BUKAN HANYA KEPINGAN

Sekilas, di layar tampak sesosok rupawan. Gagah dan indah! Menawan dalam penampilan, yang makin membuat kita yakin bahwa dia memang tampan. Begitu ingin sesiapa yang memandang menjadi seperti dirinya. Lalu, apa gerangan, hal yang membuatnya begitu memesona?
Tapi kehadiran model itu memang tak sendirian. Di belakangnya berjejal pesan tentang penyebab kegagahannya. Hingga ketampanan itu berkeping-keping menjadi potongan kecil, tergantung pihak yang berkepentingan dengan penayangannya. Memaksa para penonton untuk percaya, bahwa memang itulah formulanya.  Dan dengan tergesa, para penonton, termasuk  kita, memutuskannya secara sepihak. Kita bisa menjadi sepertinya jika kita membeli produk yang ditayangkan.


Padahal, hal itulah yang menggerakkan migrasi isi kantong ke tempat-tempat belanja. Mimpi berubah indah dalam sekejab tanpa kesadaran penuh bahwa ketampanan itu adalah sebuah paket lengkap yang harus ditampilkan semua. Bukan diambil suka-suka, dalam keyakinan bahwa ia telah menggantikan selainnya. Sebab selain lucu dan tak mungkin, akal sehat pun menolaknya. Tapi bukankah sihir iklan telah membuat kita silau, dan tak sadar?
Keadaan ini serupa dengan keindahan Islam yang menjadi compang-camping karena dakwah yang tak utuh. Potongan-potongan pemahaman yang mengesankan tercapainya kesempurnaan iman dan ketinggian derajat takwa, meski sejatinya hancur lebur. Rasa telah menjadi baik padahal muncul kontradiksi yang membingungkan menjadi fenomena biasa. Baik di satu sisi, namun buruk di banyak sisi yang lain.


Maka akan ada orang yang gemar menunaikan umrah dan haji namun melakukan hal-hal tak terpuji. Ada yang sibuk membangun masjid, namun gesit mengejar riba. Aktif di pengajian, tapi buruk menjaga lisan. Rajin mengerjakan ibadah, namun lemah dalam etika bertetangga. Atau berteriak tentang penegakan syariah, namun lemah dalam ibadah dan tanggung jawab terhadap kelurga.
Ini adalah pemahaman yang buruk. Yaitu perasaan telah menjadi muslim yang baik dan berharap surga, sedang keutuhannya tidak kita tampilkan. Kepingan kebaikan yang memenjarakan rasa hingga menolak syariat di luar kenyamanan diri. Padahal Islam memerintahkan kita untuk menerimanya secara kaffah, utuh dan lengkap tanpa kecuali, dalam rasa suka ataupun tidak. Dan Allah menginginkan kita menjadi hamba-Nya secara mutlak, bersiap mendengar dan taat dalam keseluruhan perintah-Nya.
Begitu banyak mubaligh berubah menjadi marketer ulung. Penebar promosi palsu tentang ketampanan Islam meski hanya membawa secuil potongan gambar besarnya. Bukan sebagai sebuah proses penerimaan yang berkelanjutan hingga ia hanya serupa tahapan, namun bahkan membawa pesan final akan makna kesempurnaan. Pada akhirnya kita akan sadar, bahwa jejak ketampanan itu menghajatkan penerimaan akan keseluruhan sendi-sendinya.
Lalu, siapa yang menipu dan siapa yang tertipu?


0 komentar:

Posting Komentar