Di bulan Februari ini, banyak orang merayakan hari Valentine yang
erat dengan kaitannya dengan hari kasih sayang. Bagi kita umat Islam,
hari kasih sayang tidaklah hanya hari Valentine saja, namun semua hari
yang menghiasi hidup kita adalah hari kasih sayang, setiap hari yang
kita lewati adalah wujud kasih sayangnya Allah kepada kita karena kita
masih diberikan kehidupan, sepantasnyalah kita bersyukur kepada Allah.
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin… (Segala puji hanya untuk Engkau ya Allah Tuhan semesta Alam).
Dalam
tulisan ini, saya tidak akan membahas sejarah valentine, haramkah
valentine, atau dampak dari hari valentine itu sendiri. Sekali lagi
tidak! Dalam tulisan ini, saya mengajak Anda untuk bertanya kepada diri
masing-masing. Sejenak saja. Sekarang juga. Tentang sebuah simbol
keberartian dan eksistensi diri yaitu kepantasan diri untuk
dicintai, “Pantaskah Aku dicintai?”
Mencintai dicintai
Fitrah Manusia
Setiap insan di dunia
Akan merasakannya
Indah ceria kadang merana
Itulah rasa cinta…
(Cinta – The Fikr)
Ya,
pantas untuk dicintai adalah bentuk dari keberartian dan eksistensi
diri. “Karena cinta tak dipersembahkan untuk padang jiwa yang hampa.
Tidak juga untuk karya-karya yang tak bermakna.” Kata Ust. Ahmad
Zairofi. Hanya bila kita berguna saja, maka kita layak untuk dicintai.
Nafi’un li ghairi. Sehingga apabila diri ini tidak berguna maka yang
kemudian terjadi adalah kita tak pantas untuk dicintai!
Kepantasan
untuk dicintai adalah output dari kapasitas diri. Sudah sejauh mana
diri ini bermanfaat dan sudah sejauh mana kontribusi diri ini untuk
umat. Kontribusi benar-benar nyata yang terlihat dalam aktivitas dan
gerak-gerik bukan hanya sebuah status agar diketahui orang yang
akhir-akhirnya mengharapkan pujian dari sana.
Kepantasan untuk
dicintai adalah milik semua manusia yang menghirup nafas di muka bumi
ini terlebih lebih seorang kafir sekalipun. Ada sebuah rasa keberhakkan
akan ingin dicintai. Apalah arti dunia ini apabila tak ada yang
mencintai. Hanyalah kesepian yang menemani hari-hari yang penuh masalah.
Tak ada teman tuk berbagi, tak ada sahabat yang menguatkan tancapan
tombak semangat hidup, dan tak ada yang mau untuk dimintai pertolongan.
Oleh karena itu, semua manusia pasti ingin dicintai oleh satu atau lebih
manusia lain yang hidup di permukaan bumi ini.
Kehidupan di dunia
ini tersebar dalam berbagai aspek. Dan dari tiap manusia memiliki
peran-perannya masing-masing. Ada yang di sekolah, di universitas, di
kantor, di rumah tangga, di pemerintahan, dan lain sebagainya. Semua
memiliki peran. Dan seharusnya peran itu harus dimainkan dengan
maksimal, mencerminkan sikap penuh kemanfaatan, tidak mengeruk manfaat. Menebar manfaat bukan memanfaatkannya.
Siapa yang tidak memanfaatkan perannya itu maka yang kemudian muncul
adalah ketidakberartian dalam kehidupan dan dengan kata lain tidak
berguna, apabila sudah tak berguna maka sebuah pertanyaan muncul,
“Pantaskah orang ini dicintai?” Engkau sajalah menjawabnya.
Sumber
dari kepantasan untuk dicintai adalah kejujuran. Kejujuran itulah yang
menjadi sumber kekuatan dalam menebar manfaat di dalam peran kita
masing-masing. Siapa yang tak tahu kekuatan kejujuran. Aku yakin yang
membaca tulisan ini pasti mengetahuinya. Pengaplikasiannya lah yang
susah, tergopoh-gopoh meraup kejujuran muncul dalam diri. Sulit untuk
dikeluarkan. Karena justru ketidakjujuran itulah yang akan membawa
seseorang untuk “memanfaatkannya” untuk kepentingan pribadi. Dapat
terlihat dari para penguasa diktatoris yang memanfaatkan jabatannya
untuk meraup keuntungan pribadi. Seorang pemilik tender yang
memanfaatkan tendernya itu untuk meraup keuntungan dari pengikut tender
yang mau “ngasih lebih”. Dan lain sebagainya yang sering merusak ukiran
kejujuran dalam kehidupan.
Pada setiap jengkal wilayah sosial kita, selalu ada tempat untuk
bertanya itu: layakkah kita dicintai? Seperti bila kita seorang suami.
Ada banyak karunia pada status itu. Tapi bukan karena status itu semata
kita layak dicintai. Tapi pada apa yang kita ciptakan dengan status itu,
pada kejujuran kesuamian kita. Ketulusan untuk berkorban berupa manfaat
untuk orang-orang yang ada di rumah kita sendiri: anak-anak, istri,
atau keluarga lainnya. Begitu pun menjadi seorang istri juga status.
Pada fungsi dan daya manfaatnya status itu menjadi landasan kelayakan
untuk dicintai.”
Maka sebaik-baik seorang mukmin adalah paling
banyak bermanfaat bagi orang lain dan lingkungannya. Keberartian akan
sempurna apabila seorang mukminlah yang menebar manfaat tersebut. Karena
seorang mukmin mengetahui betul manfaat dari ia menebar manfaat. Untuk
itulah ia tidak menyia-nyiakan waktunya agar waktunya senantiasa terisi
penuh oleh kemanfaatan bagi orang lain dan tentunya akan kembali ke
empunya penebar manfaat tersebut. Ini mengindikasikan bahwa untuk
menebar manfaat penuh keberartian maka keimanan harus senantiasa dipupuk
agar mekar pada momentumnya. Dan tentunya untuk meningkatkan keimanan
adalah dengan cara ber-taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Raih cinta-Nya, maka engkau pantas untuk dicintai. Karena
dalam peraihan cinta Allah tersebut, amal-amal kebaikan lantas tersebar
dan memiliki kemanfaatan bagi orang lain dan lingkungannya. Insya
Allah.
Di akhir tulisan ini Aku ingin berujar bahwa apabila mulai
sekarang hidupmu penuh kebermanfaatan maka Anda layak untuk dicintai dan
Aku pun akan mencintai Engkau. Wallahu a'lam
0 komentar:
Posting Komentar