Jumat, 17 Februari 2012

PANTASKAH AKU DICINTAI ?


           Di bulan Februari ini, banyak orang merayakan hari Valentine yang erat dengan kaitannya dengan hari kasih sayang. Bagi kita umat Islam, hari kasih sayang tidaklah hanya hari Valentine saja, namun semua hari yang menghiasi hidup kita adalah hari kasih sayang, setiap hari yang kita lewati adalah wujud kasih sayangnya Allah kepada kita karena kita masih diberikan kehidupan, sepantasnyalah kita bersyukur kepada Allah.
           Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin… (Segala puji hanya untuk Engkau ya Allah Tuhan semesta Alam).
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas sejarah valentine, haramkah valentine, atau dampak dari hari valentine itu sendiri. Sekali lagi tidak! Dalam tulisan ini, saya mengajak Anda untuk bertanya kepada diri masing-masing. Sejenak saja. Sekarang juga. Tentang sebuah simbol keberartian dan eksistensi diri yaitu kepantasan diri untuk dicintai, “Pantaskah Aku dicintai?”
Mencintai dicintai
Fitrah Manusia
Setiap insan di dunia
Akan merasakannya
Indah ceria kadang merana
Itulah rasa cinta…
(Cinta – The Fikr)
      Ya, pantas untuk dicintai adalah bentuk dari keberartian dan eksistensi diri. “Karena cinta tak dipersembahkan untuk padang jiwa yang hampa. Tidak juga untuk karya-karya yang tak bermakna.” Kata Ust. Ahmad Zairofi. Hanya bila kita berguna saja, maka kita layak untuk dicintai. Nafi’un li ghairi.  Sehingga apabila diri ini tidak berguna maka yang kemudian terjadi adalah kita tak pantas untuk dicintai!
          Kepantasan untuk dicintai adalah output dari kapasitas diri. Sudah sejauh mana diri ini bermanfaat dan sudah sejauh mana kontribusi diri ini untuk umat. Kontribusi benar-benar nyata yang terlihat dalam aktivitas dan gerak-gerik bukan hanya sebuah status agar diketahui orang yang akhir-akhirnya mengharapkan pujian dari sana.
           Kepantasan untuk dicintai adalah milik semua manusia yang menghirup nafas di muka bumi ini terlebih lebih seorang kafir sekalipun. Ada sebuah rasa keberhakkan akan ingin dicintai. Apalah arti dunia ini apabila tak ada yang mencintai. Hanyalah kesepian yang menemani hari-hari yang penuh masalah. Tak ada teman tuk berbagi, tak ada sahabat yang menguatkan tancapan tombak semangat hidup, dan tak ada yang mau untuk dimintai pertolongan. Oleh karena itu, semua manusia pasti ingin dicintai oleh satu atau lebih manusia lain yang hidup di permukaan bumi ini.
         Kehidupan di dunia ini tersebar dalam berbagai aspek. Dan dari tiap manusia memiliki peran-perannya masing-masing. Ada yang di sekolah, di universitas, di kantor, di rumah tangga, di pemerintahan, dan lain sebagainya. Semua memiliki peran. Dan seharusnya peran itu harus dimainkan dengan maksimal, mencerminkan sikap penuh kemanfaatan, tidak mengeruk manfaat. Menebar manfaat bukan memanfaatkannya. Siapa yang tidak memanfaatkan perannya itu maka yang kemudian muncul adalah ketidakberartian dalam kehidupan dan dengan kata lain tidak berguna, apabila sudah tak berguna maka sebuah pertanyaan muncul, “Pantaskah orang ini dicintai?” Engkau sajalah menjawabnya.
          Sumber dari kepantasan untuk dicintai adalah kejujuran. Kejujuran itulah yang menjadi sumber kekuatan dalam menebar manfaat di dalam peran kita masing-masing. Siapa yang tak tahu kekuatan kejujuran. Aku yakin yang membaca tulisan ini pasti mengetahuinya. Pengaplikasiannya lah yang susah, tergopoh-gopoh meraup kejujuran muncul dalam diri. Sulit untuk dikeluarkan. Karena justru ketidakjujuran itulah yang akan membawa seseorang untuk “memanfaatkannya” untuk kepentingan pribadi. Dapat terlihat dari para penguasa diktatoris yang memanfaatkan jabatannya untuk meraup keuntungan pribadi. Seorang pemilik tender yang memanfaatkan tendernya itu untuk meraup keuntungan dari pengikut tender yang mau “ngasih lebih”. Dan lain sebagainya yang sering merusak ukiran kejujuran dalam kehidupan.
             Pada setiap jengkal wilayah sosial kita, selalu ada tempat untuk bertanya itu: layakkah kita dicintai? Seperti bila kita seorang suami. Ada banyak karunia pada status itu. Tapi bukan karena status itu semata kita layak dicintai. Tapi pada apa yang kita ciptakan dengan status itu, pada kejujuran kesuamian kita. Ketulusan untuk berkorban berupa manfaat untuk orang-orang yang ada di rumah kita sendiri: anak-anak, istri, atau keluarga lainnya. Begitu pun  menjadi seorang istri juga status. Pada fungsi dan daya manfaatnya status itu menjadi landasan kelayakan untuk dicintai.”
        Maka sebaik-baik seorang mukmin adalah paling banyak bermanfaat bagi orang lain dan lingkungannya. Keberartian akan sempurna apabila seorang mukminlah yang menebar manfaat tersebut. Karena seorang mukmin mengetahui betul manfaat dari ia menebar manfaat. Untuk itulah ia tidak menyia-nyiakan waktunya agar waktunya senantiasa terisi penuh oleh kemanfaatan bagi orang lain dan tentunya akan kembali ke empunya penebar manfaat tersebut. Ini mengindikasikan bahwa untuk menebar manfaat penuh keberartian maka keimanan harus senantiasa dipupuk agar mekar pada momentumnya. Dan tentunya untuk meningkatkan keimanan adalah dengan cara ber-taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Raih cinta-Nya, maka engkau pantas untuk dicintai. Karena dalam peraihan cinta Allah tersebut, amal-amal kebaikan lantas tersebar dan memiliki kemanfaatan bagi orang lain dan lingkungannya. Insya Allah.

Di akhir tulisan ini Aku ingin berujar bahwa apabila mulai sekarang hidupmu penuh kebermanfaatan maka Anda layak untuk dicintai dan Aku pun akan mencintai Engkau. Wallahu a'lam

0 komentar:

Posting Komentar